Negara yang kaya tetapi miskin

Terkadang gue berpikir kenapa begitu banyak pertentangan yang terjadi di Indonesia padahal negara kita ini merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam n' penduduk'a yang begitu banyak sehingga merupakan pasar yang sangat baik bagi perekonomian dunia.

So gue mencoba mencurahkan berbagai informasi yang terkadang muncul di benak gue berdasarkan informasi yang gue dapet..

Seperti'a bakal gue acak cuz gue bkan lah sebuah ensiklopedia berjalan yang tau semua.

dimulai dengan artikel :

Indonesia mampu menangkis serangan CIA

BUKU Feet of the Fire karya bersama Kenneth Conboy & James Morrison dengan rinci mengungkapkan operasi rahasia CIA dalam menggoyang kekuasaan Bung Karno tahun 1957-1958. Operasi militer itu berupaya menyingkirkan rezim yang sedang tidak disukai AS dan menggantikannya dengan penguasa boneka.

Ada dalil terkenal dari Menlu Dulles, "...jika Anda bukan rekan, pasti musuh." Dalam prespektif ini, dinas rahasia AS CIA pada khususnya dan juga pemerintahan Eisenhower pada umumnya, tanpa sadar justru meminjam taktik komunis, menghalalkan segala macam cara. Hal itu diperburuk oleh batasan luas tentang apa yang mereka sebut komunis. Ke dalam batasan itu kemudian tercakup semua kelompok kiri, gerakan revolusioner, dan juga kaum nasionalis yang tidak mau diajaknya.
Pada sisi lain harus dipahami, mengapa meletus pemberontakan PRRI/Permesta?

Isu yang dipakai untuk memulai pemberontakan adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat di Jakarta kepada persoalan daerah. Arus besar pemikiran menentang Jakarta ini dilengkapi sejumlah sentimen pribadi, dan juga kekalahan politik pada Pemilu 1955.

Adalah sangat menarik untuk mengkaji Pemilu 1955. Sampai hari ini para pengamat tetap menyebutkan, itulah pemilu paling demokratis yang pernah terselenggara di Indonesia.

Perlu diingat, pada pemilu tersebut, untuk pertama kalinya PKI tampil sebagai partai terbesar keempat. Sementara kita tidak bisa melupakan, CIA sudah pernah memberikan dana rahasia sebesar satu juta dollar AS kepada salah satu partai peserta pemilu, sebagai upaya membendung kemenangan PKI.

Maka pertanyaannya, apakah dana rahasia dari CIA telah dikorup oleh para elite parpol bersangkutan? Ataukah, PKI lebih pandai dalam menjual gagasan, menawarkan ide serta memberikan impian, sehingga berhasil merebut massa dalam jumlah di luar dugaan?

Kemenangan dalam pemilu yang demokratis ini ternyata dijawab dengan aksi nondemokratis. Dengan dalih Indonesia tidak boleh dibiarkan jatuh ke kubu komunis, CIA segera melancarkan operasi rahasia dengan memanfaatkan munculnya pergolakan di daerah dan tampilnya sejumlah kolonel pembangkang yang kebetulan panglima militer di daerah bergolak.

Akhirnya, sesudah menelan korban ribuan orang tewas, baik pada rakyat biasa, para pemberontak dan juga tentara pusat, operasi rahasia CIA untuk mendukung pemberontakan PRRI/ Permesta mengalami kegagalan memalukan.
***
OPERASI tersebut mengerahkan sejumlah tenaga ahli CIA untuk memberikan latihan perang dan mendampingi pertempuran di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Menyelenggarakan pelatihan di Saipan, mengalirkan perbekalan militer, menebar uang rupiah palsu, mengirim kapal selam, pesawat terbang dan juga para penerbang tempur. Bahkan, CIA merekrut para veteran perang asal Polandia, Taiwan, dan Filipina, untuk membantu memenangkan perang kotor mereka.

Dengan melakukan wawancara kepada para pelaku dari kedua sisi serta memanfaatkan beragam dokumen yang selama ini dirahasiakan, kisah petualangan CIA di Indonesia tampil lebih jernih. Buku ini juga menyoroti kemampuan tempur para pemberontak yang segera kedodoran meski memiliki persenjataan jauh lebih baik daripada pasukan pusat.

Terjadilah perpecahan antara para politisi sipil dan kaum militer di kubu pemberontak. Para politisi mencoba meneruskan perjuangan lewat aliansi dengan gerakan Darul Islam (DI) di Aceh dan Sulawesi Selatan dengan membentuk Republik Persatuan Indonesia (RPI). Sementara para pemberontak eks militer menolak kerja sama semacam ini, sebab beberapa tahun sebelumnya, mereka adalah penumpas gerakan separatis.

Secara plastis buku ini melukiskan AH Nasution yang sedang kekurangan pasukan, Ahmad Yani tidak punya peta pendaratan, dan Benny Moerdani yang belum pernah mengikuti latihan terjun payung. Dengan segala keterbatasan, mereka itu nekat menumpas pemberontakan.

Diulas juga tentang nasib tragis Kawilarang. Teman satu kelas Nasution ini tidak pernah berniat memberontak dan tak mau menerima bantuan CIA, tetapi di sisi lain dia tidak rela tanah leluhurnya dihancurkan.

Bahwa CIA berminat menggoyang Bung Karno memang bukan sekadar analisa. Tetapi, bagaimana mereka bisa leluasa campur tangan di Indonesia?

Jawabannya mungkin dilihat dari perundingan Ahmad Husein dan Ventje Sumual dengan Foster Collins, agen CIA di Singapura.

Sayang, buku ini tidak banyak menyinggung peran para politisi sipil pendukung pemberontakan. Satu-satunya yang dikisahkan agak rinci hanya peran Sumitro Djojohadikusumo. Tokoh ini bukan hanya ikut dalam pertemuan di Sungai Dareh (ketika para pemberontak merancang pembangkangan), tetapi dia juga yang aktif melakukan shopping persenjataan sejak dari Eropa Barat sampai Taiwan.

Kini, semua peristiwa dalam buku ini, tinggal menjadi sebuah catatan sejarah. Hikmah yang bisa dipetik adalah pelajaran bahwa setiap boneka, hanya akan bisa berkiprah kalau sedang dimainkan oleh sang dalang. Begitu pihak dalang, CIA dan Pemerintah AS menarik dukungannya, maka hari-hari akhir pemberontakan PRRI/Permesta tinggal dihitung dengan jari.

Tragisnya, kebijakan AS ternyata bisa berubah dengan mendadak.
oo0O0oo

Kemudian gue lanjut dengan pahalawan kita :

Jenderal Soedirman

Beliau - dalam keadaan sakit parah, paru2 tinggal sebelah - tetap memaksakan diri bergerilya melawan Belanda. Bukan materi yg beliau kejar, bukan gaji besar, bukan fasilitas. Beliau bahkan tidak digaji. Presiden dan Perdana Menteri sudah ditangkap Belanda dalam Agresi Militer (Aksi Polisionil) Belanda ke-2. Beliau menjual perhiasan istrinya untuk modal perjuangan, berpindah dari hutan ke hutan, dengan kondisi medan yg sangat berat, dibayang-bayangi pengejaran tentara Belanda lewat darat dan udara.

Pak Dirman -dalam keadaan sakit parah digerogoti TBC & paru2 tinggal satu- memimpin perang gerilya dari atas tandu.

Inilah para gerilyawan yang beliau pimpin, berjuang keluar masuk hutan naik turun gunung demi kita anak cucu mereka.

Berjuang dengan persenjataan seadanya, melawan musuh yang memiliki persenjataan modern didukung kekuatan laut dan udara.

Gerilya berdasar kepada taktik hit and run, dan ini ampuh untuk merontokkan moral Belanda.

Di tengah kondisi kesehatan beliau yg makin mengkhawatirkan itu, banyak pihak yg menyarankan agar beliau berhenti bergerilya, namun semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun juga.
Beliau terus gigih berjuang, tidak mempedulikan lagi keselamatan dirinya. Bagi beliau, lebih baik hancur dan mati daripada tetap dijajah.

Berkat perjuangan yg tak kenal menyerah itulah, Belanda kewalahan secara militer. Kekuatan gerilya Pak Dirman luar biasa. Belanda hanya mampu menguasai perkotaan, sedangkan di luar itu, sudah masuk wilayah gerilya tentara dan pejuang kita. Di sisi lain, tekanan diplomatis terhadap Belanda juga bertubi2, karena dunia internasional melihat bahwa dengan eksistensi TNI yg ditunjukkan oleh Pak Dirman membuktikan bahwa Republik Indonesia itu ada, dan bukan sekedar kumpulan gerombolan ekstrimis seperti yg santer dipropagandakan Belanda.

Akhirnya, Belanda pun benar2 angkat tangan, dan terpaksa mengajak RI untuk berunding kembali. Perjanjian Roem Royen pun terwujud pada tanggal 7 Mei 1949, dimana Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan. Presiden pun telah dibebaskan oleh Belanda dan dikembalikan ke ibukota negara, waktu itu masih Yogyakarta. Namun ini masih belum final dan Pak Dirman tetap belum yakin dengan hasil perjanjian itu. Beliau tetap bersikeras melanjutkan perjuangan sampai seluruh tentara Belanda benar-benar hengkang dari tanah air.

Akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX meminta kepada Kolonel Gatot Soebroto untuk menulis surat kepada Pak Dirman agar bersedia kembali ke ibukota. Berikut adalah penggalan surat Kolonel Gatot Soebroto yang meminta Pak Dirman untuk berhenti bergerilya dan beristirahat (di-EYD-kan):

Quote:
"...tidak asing lagi bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu pula dengan keadaan adikku, karena kesehatannya terganggu harus ikhtiar, mengaso sungguh-sungguh, jangan mengalih apa-apa. Laat alles waaien.

Ini bukan supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Yang Maha Kuasa.

Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik minta ditaati..."
Pak Dirman pun akhirnya luluh. Bagaimanapun, perjuangan adalah jalan beliau, dan kini beliau menyadari, bahwa hasil perjuangan itu sudah mendekati akhirnya.

Sebagai persiapan pulangnya Pak Dirman ke ibukota, Sri Sultan pun mengirimkan pakaian kebesaran. Namun dengan halus dan bijaksana, kiriman itu beliau tolak. Pak Dirman memilih datang sebagaimana adanya sebagaimana ketika meninggalkan ibukota untuk bergerilya, dengan segala kekurangan dan penderitaan.

Beliau datang dengan tandu, dikawal banyak sekali anak buah beliau yang mencintai beliau. Setibanya di Gedung Agung, Presiden Soekarno langsung menyambut dan merangkul beliau.

Bung Karno merangkul Pak Dirman yang akhirnya tiba kembali di ibukota negara setelah berbulan2 bergerilya keluar masuk hutan. Bung Karno sendiri tidak tahan melihat kondisi Pak Dirman yang tampak kurus dan sangat lusuh...

Perundingan pun berlanjut kepada Konferensi Meja Bundar. Puncaknya, tidak lama berselang, Belanda terpaksa mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, dan benar-benar hengkang dari ibu pertiwi.

Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda, 27 Desember 1949, yg merupakan hasil jerih payah perjuangan Pak Dirman

Sayang sekali, seakan-akan senada dengan ucapan Pak Gatot Soebroto yg dibold di atas, Pak Dirman sepertinya memang ditakdirkan hanya untuk berjuang, bukan untuk menikmati kemerdekaan yg telah beliau perjuangkan. Beliau wafat dalam sakit beliau pada tanggal 29 Januari 1950, hanya berselang 1 bulan setelah pengakuan kedaulatan RI.

Pemakaman Pak Dirman, 29 Januari 1950, hanya 1 bulan berselang setelah Pengakuan Kedaulatan RI
oo0O0oo

walau terasa begitu berat bwad nerusin'a tapi gue lanjut dengan artikel ini :

Tragedi Semanggi

Pendukung reformasi vs tentara dan orba
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak pernah mengakui pemerintahan ini dan mahasiswa mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang yang terkait dengan Orde Baru.

Mahasiswa dan masyarakat pendukung Reformasi menolak diadakannya Sidang Istimewa 1998 dan secara bersamaan menolak dengan keras Dwifungsi ABRI/TNI (terlalu keras bahkan hingga menggubah hymne ABRI menjadi kurang sopan dan dinyayikan setiap berdemonstrasi). Alasannya karena menurut mahasiswa Dwifungsi ABRI/TNI ini merupakan salah satu penghalang bangsa Indonesia untuk maju. Tidak dapat disangkal bahwa Orde Baru membawa kemajuan bagi negara namun bila Dwifungsi disingkirkan akan menghasilkan kemajuan yang jauh daripada yang telah diperoleh.

Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa tersebut masyarakat pendukung Reformasi bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian besar dari kalangan internasional dan terlebih lagi dari kalangan nasional.

Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Ini merupakan taktik standard yang digunakan kalangan intelijen dan jujur saja terlalu mudah dibaca oleh mahasiswa. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat pengawasan yang ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing. Jangan dulu menyalahkan pimpinan universitas karena mereka harus menghadapi penanggung jawab keamanan di Jakarta jika mereka membiarkan universitas mereka menjadi basis perkumpulan mahasiswa saat Sidang Istimewa. Sekali lagi taktik yang digunakan sudah terlalu kuno dan mahasiswa tidak pernah kehabisan akal serta tak pantang menyerah.

Mahasiswa menjadikan Tugu Proklamasi sebagai tempat tujuan yang akan mereka gunakan karena tempat itu bersejarah dan di sanalah mereka akan menyampaikan pendapat mereka menentang Sidang Istimewa. Untuk mencapai Tugu Proklamasi pun tidak mudah bagi mahasiswa saat itu karena ternyata Pamswakarsa bayaran Wiranto telah menduduki Tugu Proklamasi. Mereka pasti mendapat dukungan intelijen jika tidak dari mana mereka tahu dan bagaimana mereka dapat merencanakannya dengan rapih? Mereka bukanlah orang yang lebih pandai dari mahasiswa, mereka berani mati hanya karena Rp 5.000,- dan sungguh menyedihkan karena beberapa orang anggota Pamswakarsa benar-benar mati dikeroyok masyarakat. Kembali ke Tugu Proklamasi, masyarakat sekitar mengusir Pamswakarsa dan mereka terkepung hingga akhirnya dilindungi dan dievakuasi oleh truk-truk PHH. Sehingga mahasiswa berhasil menguasai Tugu Proklamasi terima kasih kepada rakyat pendukung Reformasi.

Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan bahkan jika perlu mengorbankan jiwa mereka demi terwujudnya Indonesia yang baru.

Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi - Gatot Soebroto - Senayan - Slipi, akan tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob, dan Pamswakarsa. Hari itu tidak luput dari bentrokan. Yang terbesar terjadi di daerah Slipi di mana puluhan mahasiswa masuk rumah sakit dan seorang pelajar yakni Lukman Firdaus terluka berat dan juga harus masuk ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian Lukman meninggal dunia. Bentrokan besar lain di Gatot Soebroto walau tidak menimbulkan korban jiwa.

Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Keberhasilan mahasiswa mencapai kawasan Semanggi karena menggunakan strategi yang memecah sebagian jumlah mereka dan bergerak dari banyak arah dengan satu tujuan mencapai gedung DPR/MPR untuk menyampaikan ketidak setujuan mereka dengan Sidang Istimewa dan tuntutan lainnya. Strategi ini berhasil memecah konsentrasi aparat keamanan dan membuat mereka panik.

Kepanikan aparat keamanan terlihat walau sejak malam hari Jalan Sudirman telah dihadang aparat keamanan, pada pagi dan siang harinya jumlah aparat keamanan semakin banyak dan bahkan mereka mengirim kendaraan lapis baja untuk mengepung Jalan Jenderal Sudirman dari dua arah. Belum cukup dengan itu mereka mengutus Pamswakarsa untuk membujuk rakyat menentang mahasiswa dari arah Karet ke Semanggi. Yang terjadi adalah rakyat mengejar dan memukuli Pamswakarsa dan mereka lari terbirit-birit. Taktik adu domba intelijen tidak berhasil hari itu walau pernah berhasil pada bulan Mei 1998.

Jumlah mahasiswa dan masyarakat yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan di jalan walaupun disemprot cairan kimia berwarna kuning oleh aparat yang menyebabkan iritasi kulit. Pada saat yang bersamaan terjadi penembakan yang membabibuta oleh aparat dan beberapa detik kemudian di jalan itu sudah ada mahasiswa barisan depan yang tertembak dan meninggal seketika di Jalan Jenderal Sudirman. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal dunia pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke arah kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan serta rakyat yang terluka. Korban kedua penembakan hari itu adalah Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat hendak menolong orang lain yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya. Mulai dari jam 3 sore hari itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi sehingga korban terus berjatuhan baik yang meninggal maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut peluru dan gas air mata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga korban meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara walau tidak menimbulkan kerusuhan.

Perisitiwa ini diabadikan secara langsung oleh stasiun TV swasta Indonesia, Australia, BBC, CNN, dan banyak lainnya ketika terjadi pertempuran yang tak imbang antara tentara dengan senjata api melawan mahasiswa dengan jaket almamaternya. Radio swasta Indonesia juga melaporkannya secara langsung sampai ke Indonesia bagian Timur. Dengan menyaksikan dan mendengarkan peristiwa secara langsung banyak sekali ibu-ibu dan bapak-bapak yang menangis. Mereka tidak dapat percaya bahwa anak bangsa ditembak mati oleh tentara bangsa sendiri. Memilukan.

Wakil rakyat yang bersidang istimewa dan tokoh politik saat itu tidak menganggap penting suara dan pengorbanan masyarakat maupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa yang berani melawan tentara dan melecehkan lagu ABRI".

Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tidak dapat memaafkan, tapi karena kami sadar bahwasanya kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!

Penolak RUU PKB diberondong peluru
Bangsa Indonesia harus mengucurkan air mata kembali. Untuk kesekian kalinya tentara yang seharusnya merupakan pembantu rakyat, digaji oleh uang rakyat, melakukan tindakan pembunuhan terhadap mahasiswa, yang merupakan bagian dari rakyat, dalam menghentikan penolakan sikap mahasiswa terhadap Rancangan Undang Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Lokasi penembakan mahasiswa pun di tempat yang sangat strategis yang dapat dipantau oleh banyak orang awam yaitu di sekitar jembatan Semanggi, depan kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, dekat pusat bisnis nasional maupun internasional di Jakarta.

Kala itu adanya desakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan UU PKB yang materinya menurut banyak kalangan dan mahasiswa sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah yang besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB karena UU PKB ini pada dasarnya bertentangan dengan tuntutan mahasiswa sejak tahun 1998 untuk menghilangkan dwifungsi ABRI/TNI. Ini terpaksa dilakukan karena di Indonesia saat itu hanya dengan berdemonstrasi, mereka yang hendak mensahkan Undang Undang tersebut baru mampu berpikir, sebab tampaknya mereka sudah tak punya hati nurani lagi dan entah bagaimana membuat mereka peduli dengan bangsanya daripada peduli terhadap perut buncit mereka itu yang duduk di kursi parlemen menggunakan logo Pancasila dengan bangganya di jas mereka.

Malang nasib mahasiswa yang selalu harus berkorban, kali ini Universitas Indonesia harus kehilangan seorang pejuang demokrasi mereka Yun Hap yang tertembus peluru pada tanggal 23 September 1999. Sungguh pedih bagi mereka yang mengikuti perjuangan mahasiswa karena setiap kali mereka berjuang mereka harus mengorbankan jiwa mereka demi tegaknya demokrasi di Indonesia. Sampai kapan ini harus berlanjut? Setelah mengorbankan nyawa pun demokrasi masih jauh dari harapan.

oo0O0oo

dan lanjut lagi ke artikel ini :

Tradegi Trisakti
Penembakan Mahasiswa Trisakti

Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya Soeharto kembali sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.

Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakannya SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jabotabek merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.

Setelah keadaan semakin memanas dan hampir setiap hari ada demonstrasi di mana-mana tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan Soeharto sebagai Presiden Indonesia kembali yang telah berulang kali terpilih menjadi Presiden sejak awal Orde Baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.

Mahasiswa bergerak dari kampus Trisakti di Grogol menuju Gedung DPR/MPR melalui Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu terjadi sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.

Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat keamanan yang menembak mati mahasiswa Trisakti. Jakarta geger dan mencekam.

Pendudukan Gedung DPR/MPR dikuasai Mahasiswa

Dalam keadaan yang mulai terkendali setelah mencekam selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari Senin siang, ribuan mahasiswa berkumpul di depan gedung DPR/MPR dan dihadang oleh tentara yang bersenjata lengkap, bukan lagi aparat kepolisian. Tuntutan mahasiswa yang utama adalah pengusutan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, penolakan terhadap penunjukan Soeharto sebagai Presiden kembali, pembubaran DPR/MPR 1998, pembentukan pemerintahan baru, dan pemulihan ekonomi secepatnya.

Kedatangan ribuan mahasiswa ke gedung DPR/MPR saat itu begitu menegangkan dan nyaris terjadi insiden. Suatu saat tentara yang berada di depan gedung atas tangga sempat mengokang senjata mereka sehingga membuat panik para wartawan yang segera menyingkir dari arena demonstrasi. Mahasiswa sebaliknya tidak panik dan tidak terpancing untuk melarikan diri sehingga tentara tidak dapat memukul mundur mahasiswa dari gedung DPR/MPR. Sungguh besar nyali mahasiswa dan mereka tak bergeming walau sadar sepenuhnya mereka mangsa empuk peluru di tempat yang lapang dan tanpa perlindungan apapun. Akhirnya mahasiswa melakukan pembicaraan dengan pihak keamanan dan selanjutnya membubarkan diri pada sore hari dan pulang dengan menumpang bus umum.

Keesokan harinya mahasiswa yang mendatangi gedung DPR/MPR semakin banyak dan lebih dari itu mereka berhasil menginap dan menduduki gedung itu selama beberapa hari. Keberhasilan menduduki gedung DPR/MPR mengundang semakin banyaknya mahasiswa Indonesia lainnya dari luar Jakarta untuk datang dan turut menginap di gedung tersebut. Mereka mau menunjukkan bahwa Refromasi itu bukan hanya milik Jakarta tapi milik semua orang Indonesia.

Soeharto akhirnya menyerah pada tuntutan rakyat yang menghendaki dia tidak menjadi Presiden lagi, namun tampaknya tak semudah itu Reformasi dimenangkan oleh rakyat Indonesia karena ia meninggalkan kursi kepresidenan dengan menyerahkan secara sepihak tampuk kedaulatan rakyat begitu saja kepada Habiebie. Ini mengundang perdebatan hukum dan penolakan dari masyarakat. Bahkan dengan tegas sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa Habiebie bukanlah Presiden Indonesia. Soeharto No, Habiebie No! Mereka tetap bertahan di gedung DPR/MPR sampai akhirnya diserbu oleh tentara dan semua mahasiswa digusur dan diungsikan ke kampus-kampus terdekat. Paling banyak yang menampung mahasiswa pada saat evakuasi tersebut adalah kampus Atma Jaya yang terletak di Semanggi.
oo0O0oo
 
Seperti'a kali ini gue dah nyediain informasi yang mungkin berguna bwad para pembaca tapi yang terakhir ini gue cma mau mengekspresikan emosi gue tentang kepresidenan kitawalau gue tau klo gue belum tentu lebih baik dari mereka :

Soekarno
Belia merupakan sosok yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia karena tanpa'a mungkin kita tidak akan mendapatkan kemerdekaan meskipun beliau berubah menjadi seorang sosok yang otoriter dan membuat banyak pertentangan di berbagai pihak yang kemudian melalui SUPER SEMAR beliau menyerahkan kekuasaan'a kepada " Soeharto. "

Soeharto
Merupakan seorang sosok yang begitu di benci oleh sebagian masyarakat Indonesia yang telah terbukti melakukan tindak korupsi yang begitu besar serta melakukan berbagai tindak kekerasan apabila ada masyarakat yang melawan kepemerintahan'a tetapi bagi sebagian para petani beliau merupakan sosok yang sangat berjasa karena beliau sering menyempatkan diri'a untuk turun ke wilayah pertanian untuk memperbaiki sektor pangan walaupun begitu beliau terpaksa turun jabatan di karenakan demo yang terjadi berada di luar kendali sehingga untuk menjaga nama baik bangsa beliau menyerahkan jabatannya ke " Baharudin Jusuf Habibie. "

Baharudin Jusuf Habibie
Beliau merupakan presiden ke-3 bangsa Indonesia yang mendapatkan kedudukannya untuk memenuhi kekosongan negara ini juga mendapatkan pertentangan dari para mahasiswa karena di nilai masih menggunakan paham-paham yang di gunakan pada pemerintahan " Soeharto. "

Abdurrahman Wahid
Beliau merupakan presiden ke-4 bangsa Indonesia yang bisa di bilang mengalami kelumpuhan mata beliau tetap berjuang agar dapat memimpin bangsa Indonesia tetapi beliau yang begitu religion terkadang berbuat kesalahan dan pada akhirnya beliau turun dari jabatannya.

Megawati Soekarno Putri
Seorang sosok yang paling cantik di antara presiden lainnya ini ternyata tidak lama menduduki jabatannya sebagai presiden karena begitu banyak konflik yang terjadi saat beliau berkuasa hal itu juga di dukung berdasarkan agama islam bahwa seorang pemimpin adalah laki-laki dan hal ini di buktikan dengan pemerintahan "Cleopatra" yang begitu besar akhirnya hancur karena pada dasarnya wanita memiliki tingkat emosi yang lebih tinggi di bandingkan laki-laki.

Susilo Bambang Yodhoyono
Seorang sosok yang berulang kali mendapat cemooh dari berbagai kalangan masyarakat karena beliau yang terlihat seperti diam saja atas demo-demo yang terjadi, beliau bukan hanya berpangku tangan menyaksikan para demonstran yang terus menerus melakukan demo tetapi beliau mencoba menyelesaikan semua masalah yang ada karena beliau tidak ingin melibatkan masyarakat banyak dalam urusan negara meskipun semakin banyak rakyat yang semakin tak sabar menunggu perubahan.


Pesan-pesan gue bwad para reader yang ingin membuat perubahan :
" Coba deh mulai sekarang kita terus berusaha dengan sekuat tenaga bwad jadi lebih baik dari mereka yang berada di atas kita karena perubahan itu tidak akan bisa di mulai dengan sebuah perkataan yang anda sendiri tidak berusaha bwad melakukan'a. "

No comments:

Post a Comment

Copyright © Sebuah Perjalanan