Aku tidak ingin di sebut

Sering kali kita menemukan sebuah fakta yang unik dalam kehidupan ini dimana seseorang yang menjadi otak dalam sebuah peristiwa sering kali dilupakan namun apabila peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang negatif maka orang-orang akan mencap otak dari peristiwa itu sebagai orang yang harus di hukum dengan seberat-beratnya. 

Hal tersebut memanglah benar tapi pernahkah anda bayangkan apabila anda merupakan seorang EO (Event Orginizer) dan event yang anda rencanakan tersebut berjalan sesuai dengan rencana anda dan melibihi ekspetetasi anda yang menyebabkan orang-orang yang ada di sekililing anda pada saat itu begitu terkagum-kagum dengan apa yang ada namun sang pemilik event mengakui bahwa itu semua dilakukan oleh mereka sendiri. Mungkin pada saat itu hati anda akan merasa begitu kacau dan mungkin ada pikiran dalam benak anda untuk tidak akan melayani pemilik event untuk lain kali namun pernahkah anda berpikir bahwa hal itu harus di hilangkan dari pikiran anda.

Untuk menyikapi hal tersebut mari kita simak kisah berikut. 

Andai Aku Sirup

Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirup.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan ‘kopi gula pasir’. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.

Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirup.

Dari segi eksistensi, sirup tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirup." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirup mangga, es sirup lemon, kokopandan," dan seterusnya.

Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirup, "Andai aku seperti kamu."

Sosok gula pasir dan sirup merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir.

Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirup dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir.

Kalau saja gula pasir mengerti bahwa sirup terbaik justru yang berasal dari gula pasir asli.

Kalau saja para penggiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirup!" –wallahu’alam—

Lihatlah dan ambillah hikmah dari kisah di atas karena melalui kisah di atas kita akan mengetahui arti sebuah keikhlasan dari gula yang meskipun ia merupakan bahan yang penting dalam berbagai jenis minuman manis namun ia tidak pernah sama sekali disebutkan namun gula tetap senantiasa memaniskan segala jenis minuman tanpa meminta pengakuan.

Begitu pula yang seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh setiap orang dan karena oleh itu pula ia akan menjadi orang yang berbudi luhur meskipun ia tidak di anggap, ia akan selalu membantu orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Kebaikan sebaiknya di bagikan kepada orang-orang yang ada di sekitar kita maka dari situ kita akan menghasilkan keadaan damai di sekitar kita.

No comments:

Post a Comment

Copyright © Sebuah Perjalanan