Renunganku ...

Assalamualaikum wr.wb.
Setiap orang pasti pernah merenungkan tentang apa-apa saja yang ia pernah lakukan dan tentunya di saat itulah ia akan menyadari apakah perbuatan yang mereka perbuatan itu berdosa ataupun tidak dan tidak dapat di pungkiri bahwa saya yang merupakan manusia biasa pun sering kali merenungkan apa yang pernah saya lakukan di masalalu namun kini saya ingin membagikan sedikit renungan tentang kehidupan ini.

Untuk mempersingkat silakan di baca ...

Bila akhirat menjauhi kita
Akhirat. Kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya. Rumah penghabisan, tempat segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang. 

Dan di sana kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekadar tempat berkesudahan yang . terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya, pada ketetapan Allah, taqdir dan kuasa-Nya, tak ada yang bisa lari dari akhirat. Tapi bagi orang-orang beriman akhirat adalah juga tempat menggantungkan cita-cita, harapan, dan puncak kebahagiaan abadi. Lain halnya bagi orang-orang yang bergelimang dosa, bergumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju. Di sana pula sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kotorannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-Qur’an : 
"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan. " (QS. Al-An’am: 29). 
Maka manusia sampah punya akhirannya sendiri di kampung akhirat sana. Akhiran sebagai sampah, atau bahkan lebih nista dari sampah. Suasananya sangat mengharukan. 
"Dan, jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang heriman,’ tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan." (Al-An’am: 27).
Akhirat. Jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergantung bagaimana kita berjalan menuju ke sana. Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang sangat pasti. Akhirat yang sering terlupakan. Ia semestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tergambarkan. Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata, bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bisa menyergap tiba tiba, tapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.

Akhirat. Seperti sahabat sehati. Ia akan terus melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang Mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang Mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.

Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampung akhirat yang abadi adalah keniscayaan. Di tengah gemerlap hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian: apa kabar akhirat?

Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkah kita menjadi pengejar akhirat? Di sini segalanya terasa sangat adil. Bila kita menjauh, Ahirat pun akan menjauhi kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat, akhirat pun akan mendekat.

Kita mesti bersyukur, dari sisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, di lubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran dan bahkan pilihan selera.

Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.

Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah tambatan-tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakkan di muka, tentang akhirat kita, kokoh atau lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebajikan-kebajikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.

Akhirat, sahabat abadi itu masih menyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini. Di sini. Saat kita masih seperti ini. Jadi, cermin itu ada di sini, bersama diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, di tengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.

Segala yang hidup punya pertanda. Begitu pun akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat yang kian menjauh atau lebih mendekat.

Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya kita harus bertanya, adakah akhirat telah menjauhi kita?

Tutur kala kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan capaian prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Pada itu semua, mari kita bertanya, sejujurnya. Wallahu’alam


Kehidupan Dunia Adalah Kesenangan yang Menipu
Allah menciptakan surga dan neraka, yang kelak akan diisi oleh manusia. Di mana nanti kita berada -surga atau neraka- akan ditentukan melalui proses kompetisi yang panjang selama hidup di dunia; yaitu kompetisi dalam mengumpulkan pahala. Kompetisi ini berakhir pada waktu kita mati, karena tidak ada kesempatan pengumpulan pahala lagi setelah kita mati.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagi manusia, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al Kahfi:7)
Seseorang yang berhasil mengumpulkan pahala yang banyak, tempatnya kelak adalah di surga. Sedangkan bagi yang lalai, tidak diragukan lagi, ia akan berada di tempat sebaliknya, yaitu neraka. Jadi, surga adalah merupakan puncak hadiah yang akan diraih oleh manusia. Dan untuk mendapatkan hadiah puncak ini, tentu saja tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh, karena Allah akan terus menerus menguji keuletan kita dalam mematuhi “aturan main” yang dibuat-Nya.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabuut: 2)
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. (Al-Anbiya’:35)
Rasulullah SAW Pun memperingatkan kita:
Dunia itu adalah nerakanya orang mukmin dan surganya orang kafir. Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, dan neraka itu dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan (nafsu).
Bentuk ujian Allah itu bermacam-macam. Hal ini adalah wajar, mengingat hadiahnya pun luar biasa, yaitu hidup abadi dalam kebahagiaan di surga. Ujian terberat yang dirasakan oleh kebanyakan orang, umunya adalah yang berkaitan dengan harta atau pangkat. Harta atau pangkat dapat dengan mudah membuat manusia terbius, terlupa akan tujuan hidupnya di dunia. Harta yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan ketaatan pada aturan main-Nya, terbuai justru digunakan untuk melanggar ‘aturan main’ itu (!). dalam hal ini sayidina Ali r.a. berwasiat, ‘Hati-hatilah terhadap hartamu, karena ia dapat menjadi bahan utama pelampiasan hawa nafsu!” [ "... Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami dan jangan Engkau jadikan dunia di hati kami"]
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anak kamu itu hanyalah sebagai cobaan ….. (Al-Anfaal: 28)
….. Dan Kami coba mereka dengan nikmat yang baik-baik dan bencana yang buruk-buruk. (Al-A’raaf: 168)
Untuk dapat mengatasi berbagai macam ujian Allah ini, Nanda harus mempunyai bekal motivasi yang kuat. Karena hanya denagn motivasi yang kuat, akan tercipta semangat yang hebat. Dan dengan semangat yang hebat, segala godaan yang berasal dari nafsu dan setan yang gila pun akan dapat ditaklukkan.

Ayat-ayat berikut ini dapat dijadikan sebagai bekal untuk motivasi:
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permaianan dan senda gurau ….. (Muhammad: 36)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur. (At-Takaatsur: 1,2)
Maka janganlah harta benda dan anak-anak, mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah: 55)
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. ……… Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Hadiid: 20)
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabuut: 64)
Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya mereka jahanam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Thaha: 74)
Menurut Imam Ghazaly. Kelak semua manusia akan melintasi jembatan yang di bawahnya terdapat neraka. Jembatan ini dikenal dengan sebutan shiratha’l-mustaqim. Kelak bakal ada yang melewatinya secepat kilat, ada juga yang berlalu seperti angina atau sekencang larinya kuda, dan ada pula yang secepat terbangnya burung. Namun di samping itu, ada juga yang berjalan biasa atau yang merangkak hingga hangus menjadi arang. Bahkan ada yang tersandung sehingga terjatuh ke dalam neraka. Perbedaan cara ini dikarenakan perbedaan sikap hidup selama di dunia, yaitu apakah selalu taat, atau sering membangkang pada aturan main-Nya. Shiratha’l mustaqim bukanlah jembatan seperti di dunia yang dapat ditempuh dengan kekuatan fisik atau kaki, tetapi jembatan ini hanya dapat diseberangi dengan kekuatan hati. Hati yang selalu membangkang ibarat sepasang kaki yang lumpuh (pincang), sedangkan hati yang selalu taat pada aturan main-Nya ibarat sepasang kaki seorang pelari ulung.


Keberadaan Manusia Melalui Suatu Proses
Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalui proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.

Yang perlu saudara sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi ini diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, di sekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang.

Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil -diberi pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama akan menentukan kualitas tumbuhan itu pada saat ia berbunga atau berbuah.

Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.

Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Sehingga dengan demikian, kualitas kalian di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan Nanda sendiri dalam mengatasi ujian-ujian yang dihadapi, apakah mampu selalu taat mengikuti perintah-perintah-Nya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisaa’: 13, 14)
Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan; kemudian ia lalu mati tidak berdaya? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat! Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju ke sana.
Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Al-Mu’minun: 115)
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan diberikan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (Al-Qiyamah: 36)
Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya. (Thaahaa: 15)
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabuut: 64]
Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (Al-Israa’: 10)
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Al-Israa’: 9)
Keterangan singkat yang diuraikan di atas, sekilas tampaknya sederhana, namun bila Nanda renungkan baik-baik, makna yang tersirat sangatlah dalam. Pahamilah hal ini dengan baik. Karena inilah fundamen yang paling mendasar untuk dapat menemukan atau mengerti kebenaran hidup yang hakiki.


Kehidupan Yang Berarti ...
Berapa umur anda saat ini? 
25 tahun, 35 tahun, 45 tahun atau bahkan 60 tahun... 
Berapa lama anda telah melalui kehidupan anda? 
Berapa lama lagi sisa waktu anda untuk menjalani kehidupan? 
Tidak ada seorang pun yang tahu kapan kita mengakhiri hidup ini.

Matahari terbit dan kokok ayam menandakan pagi telah tiba. Waktu untuk kita bersiap melakukan aktivitas, sebagai karyawan, sebagai pelajar, sebagai seorang profesional, dll. 
Kita memulai hari yang baru. Macetnya jalan membuat kita semakin tegang menjalani hidup. Terlambat sampai di kantor, itu hal biasa. Pekerjaan menumpuk, tugas dari boss yang membuat kepala pusing, sikap anak buah yang tidak memuaskan, dan banyak problematika pekerjaan harus kita hadapi di kantor. 
Tak terasa, siang menjemput..."Waktunya istirahat..makan-makan.." Perut lapar, membuat manusia sulit berpikir. Otak serasa buntu. Pekerjaan menjadi semakin berat untuk diselesaikan. Matahari sudah berada tepat diatas kepala. Panas betul hari ini... 
Akhirnya jam istirahat selesai, waktunya kembali bekerja...Perut kenyang, bisa jadi kita bukannya semangat bekerja malah ngantuk. Aduh tapi pekerjaan kok masih banyak yang belum selesai. Mulai lagi kita kerja, kerja dan terus bekerja sampai akhirnya terlihat di sebelah barat...

Matahari telah tersenyum seraya mengucapkan selamat berpisah. Gelap mulai menjemput. Lelah sekali hari ini. Sekarang jalanan macet. Kapan saya sampai di rumah. Badan pegal sekali, dan badan rasanya lengket. Nikmat nya air hangat saat mandi nanti. Segar segar ... Ada yang memacu kendaraan dengan cepat supaya sampai di rumah segera, dan ada yang berlarian mengejar bis kota bergegas ingin sampai di rumah. 

Dinamis sekali kehidupan ini. 
Waktunya makan malam tiba. Sang istri atau mungkin Ibu kita telah menyiapkan makanan kesukaan kita. "Ohh..ada sop ayam", "Wah soto daging buatan ibu memang enak sekali", Suami memuji masakan istrinya, atau anak memuji masakan Ibunya. Itu juga kan yang sering kita lakukan.

Selesai makan, bersantai sambil nonton TV. Tak terasa heningnya malam telah tiba. Lelah menjalankan aktivitas hari ini, membuat kita tidur dengan lelap. Terlelap sampai akhirnya pagi kembali menjemput dan mulailah hari yang baru lagi. 

Kehidupan..ya seperti itu lah kehidupan di mata sebagian besar orang. 
Bangun, mandi, bekerja, makan, dan tidur adalah kehidupan. 
Jika pandangan kita tentang arti kehidupan sebatas itu, mungkin kita tidak ada bedanya dengan hewan yang puas dengan bisa bernapas, makan, minum, melakukan kegiatan rutin, tidur. Siang atau malam adalah sama. 
Hanya rutinitas ... sampai akhirnya maut menjemput.

Memang itu adalah kehidupan tetapi bukan kehidupan dalam arti yang luas. 
Sebagai manusia jelas kita memiliki perbedaan dalam menjalankan kehidupan. 
Kehidupan bukanlah sekedar rutinitas. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencurahkan potensi diri kita untuk orang lain. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita berbagi suka dan duka dengan orang yang kita sayangi. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita bisa mengenal orang lain. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita melayani setiap umat manusia. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencintai pasangan kita, orang tua kita, saudara, serta mengasihi sesama kita. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita belajar dan terus belajar tentang arti kehidupan. 
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita selalu mengucap syukur kepada Yang 
Maha Kuasa .. 
Kehidupan adalah ... dll.

Begitu banyak Kehidupan yang bisa kita jalani. 
Berapa tahun anda telah melalui kehidupan anda ? 
Berapa tahun anda telah menjalani kehidupan rutinitas anda ? 
Akankah sisa waktu anda sebelum ajal menjemput hanya anda korbankan untuk 
sebuah rutinitas belaka ?

Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput, mungkin 5 tahun lagi, mungkin 1 tahun lagi, mungkin sebulan lagi, mungkin besok, atau mungkin 1 menit lagi. 
Hanya Tuhanlah yang tahu ... 
Pandanglah di sekeliling kita ... ada segelintir orang yang membutuhkan kita.

Mereka menanti kehadiran kita. Mereka menanti dukungan kita. Orang tua, saudara, pasangan, anak, sahabat dan sesama...... 
Serta Tuhan yang setia menanti ucapan syukur dari bibir kita.

Bersyukurlah padaNYA setiap saat bahwa kita masih dipercayakan untuk menjalani kehidupan ini. Buatlah hidup ini menjadi suatu ibadah. 


Persepsi tentang Waktu
Apa yang kita persepsikan sebagai waktu sesungguhnya sebuah metode untuk membandingkan satu momen dengan momen lain. Ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika seseorang memukul sebuah benda, ia mendengar bunyi tertentu. Ketika ia memukul benda yang sama lima menit kemudian, ia mendengar bunyi lagi. Orang tersebut merasakan jeda antara bunyi pertama dengan bunyi kedua, dan menyebut jeda ini sebagai "waktu". Namun saat ia mendengar bunyi kedua, bunyi pertama yang didengarnya tak lebih dari sebuah imajinasi dalam pikirannya. Bunyi pertama hanyalah sepotong kecil informasi dalam memori. Ia merumuskan konsep "waktu" dengan membandingkan momen yang sedang dijalaninya dengan momen yang ada dalam memorinya. Jika perbandingan ini tidak dilakukan, maka persepsi waktu pun tidak ada.

Sama halnya dengan seseorang yang membuat perbandingan ketika ia melihat orang lain memasuki ruangan dan duduk di kursi di tengah ruangan. Ketika orang tersebut duduk di kursi, citra yang berkaitan dengan saat ia membuka pintu, masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke kursi, disusun sebagai potongan-potongan informasi di dalam otak. Persepsi tentang waktu terjadi ketika ia membandingkan kejadian orang yang duduk di kursi dengan kumpulan informasi yang dimilikinya.

Singkatnya, waktu muncul sebagai hasil perbandingan antara beberapa ilusi yang tersimpan di dalam otak. Bila seseorang tidak memiliki memori, maka otaknya tidak dapat melakukan interpretasi seperti itu sehingga persepsi tentang waktu tidak terbentuk. Alasan seseorang menyatakan dirinya berumur 30 tahun hanyalah karena ia telah mengakumulasi informasi berkaitan dengan 30 tahun tersebut di dalam otaknya. Bila memorinya tidak ada, maka ia tidak akan berpikir tentang keberadaan periode yang telah berlalu dan ia hanya akan mengalami "momen" tunggal yang sedang dijalaninya.

Penjelasan Ilmiah tentang Ketiadaan Waktu

Kutipan penjelasan beberapa ilmuwan dan cendekiawan berikut akan lebih menerangkan subjek ini. François Jacob, seorang intelektual terkenal dan profesor bidang genetika penerima hadiah Nobel, dalam bukunya Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Aktual) menjelaskan tentang waktu yang berjalan mundur:
Film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia di mana waktu berjalan mundur: sebuah dunia di mana susu memisahkan diri dari kopi, meloncat keluar dari cangkir dan masuk kembali ke dalam panci susu; di mana berkas-berkas cahaya dipancarkan dari dinding-dinding dan menyatu dalam sebuah pusat, bukannya memancar keluar dari sumber cahaya; di mana sebuah batu naik ke telapak tangan seseorang karena kerja sama menakjubkan dari banyak tetes air yang membuat batu tersebut keluar dari dalam air. Namun dalam dunia di mana waktu berjalan mundur, proses-proses di dalam otak dan cara memori kita mengumpulkan informasi pun mengikutinya. Hal serupa juga berlaku bagi masa lalu dan masa depan, dan bagi kita, dunia akan tampak seperti apa adanya. 

Dunia tidak berjalan seperti dinyatakan di atas karena otak kita tidak terbiasa dengan urutan kejadian demikian, dan kita beranggapan bahwa waktu selalu bergerak ke depan. Bagaimanapun, anggapan ini merupakan keputusan yang diambil di dalam otak sehingga bersifat relatif. Sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana waktu mengalir, atau bahkan tidak tahu apakah ia mengalir atau tidak. Semua ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah fakta absolut melainkan hanya sebuah persepsi.

Fakta bahwa waktu bersifat relatif didukung juga oleh ahli fisika terpenting di abad ke-20, Albert Einstein. Lincoln Barnett, dalam bukunya The Universe and Dr. Einstein (Alam Semesta dan Dr. Einstein), menulis:
Bersamaan dengan menyingkirkan konsep ruang absolut, Einstein sekaligus membuang konsep waktu absolut — aliran waktu universal yang tidak berubah, mengalir terus-menerus dari masa lalu tak terhingga ke masa depan yang tak terhingga. Sebagian besar ketidakjelasan yang meliputi Teori Relativitas berasal dari keengganan manusia untuk menyadari bahwa pengertian waktu, seperti juga pengertian warna, adalah sebuah bentuk persepsi. Sebagaimana ruang hanyalah suatu susunan objek-objek material yang mungkin, waktu juga hanyalah susunan kejadian-kejadian yang mungkin. Subjektivitas waktu paling tepat dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri. "Pengalaman-pengalaman individu," katanya, "kita lihat sebagai rangkaian berbagai kejadian; dalam rangkaian ini, kejadian tunggal yang kita ingat terurut sesuai dengan kriteria 'lebih dulu' dan 'kemudian'. Oleh karena itu setiap individu akan memiliki 'waktu-saya' atau waktu subjektif. Waktu ini, dengan sendiri-nya, tidak dapat diukur. Saya, tentu saja, dapat menghubungkan angka-angka dengan kejadian-kejadian sedemikian rupa sehingga angka terbesar melambangkan kejadian terkini dan bukan dengan kejadian lebih awal. 
Einstein sendiri menunjukkan, seperti yang dikutip dari buku Barnett: "ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi tidak terpisahkan dari kesadaran, seperti halnya konsep warna, bentuk atau ukuran". Menurut Teori Relativitas Umum: "eksistensi waktu tidak dapat dipisahkan dari urutan kejadian yang kita gunakan untuk mengukurnya." 

Karena waktu terdiri atas persepsi, maka waktu bergantung sepenuhnya pada orang yang merasakannya. Karena itulah waktu bersifat relatif.

Kecepatan waktu mengalir akan berbeda berdasarkan acuan yang digunakan untuk mengukurnya, karena tubuh manusia tidak memiliki jam alami yang dapat menentukan secara tepat kecepatan waktu berjalan. Seperti yang ditulis Lincoln Barnett: "Sebagaimana tidak ada warna bila tak ada mata untuk melihatnya, tidak ada pula ukuran sesaat, sejam atau sehari bila tak ada kejadian untuk menandainya."

Relativitas waktu dapat dialami secara sederhana di dalam mimpi. Walaupun apa yang kita lihat dalam mimpi tampaknya berlangsung berjam-jam, sesungguhnya hanya berlangsung beberapa menit, atau bahkan beberapa detik.

Mari kita lihat sebuah contoh untuk memperjelas masalah ini. Bayangkan kita dimasukkan ke dalam ruangan dengan sebuah jendela yang dirancang khusus, dan kita berada di sana selama waktu tertentu. Ruangan tersebut dilengkapi sebuah jam sehingga kita dapat mengetahui berapa lama waktu yang telah kita lewati. Pada saat yang sama kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam. Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak berarti.

Contoh ini menegaskan bahwa informasi yang kita miliki tentang laju waktu hanyalah berdasarkan acuan relatif. Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang telah dibuktikan melalui metodologi ilmiah. Teori Relativitas Umum Einstein menyatakan bahwa kecepatan perubahan waktu tergantung pada kecepatan benda tersebut dan jaraknya dari pusat gravitasi. Begitu kecepatan meningkatnya, waktu menjadi lebih singkat dan termampatkan; dan melambat sehingga bisa dikatakan "berhenti".

Hal ini diperjelas dengan contoh dari Einstein. Bayangkan dua saudara kembar: salah seorang tinggal di bumi sementara yang lainnya pergi ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika penjelajah luar angkasa ini kembali ke bumi, ia akan mendapati saudaranya menjadi lebih tua daripada dirinya. Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi. Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun; ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun!

Harus digarisbawahi bahwa relativitas waktu tidak disebabkan oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan pegas mekanis alat penghitung waktu. Relativitas ini merupakan hasil perbedaan waktu operasi sistem materi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya partikel-partikel sub atom. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya, perlambatan waktu bukan berarti menjalani kejadian seperti dalam film gerak lambat. Dalam keadaan di mana waktu memendek, detak jantung, replikasi sel, fungsi otak dan segala sesuatunya berjalan lebih lambat daripada manusia yang bergerak di bumi. Orang tersebut akan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa menyadari sama sekali adanya pemendekan waktu. Pemendekan waktu tersebut tak akan terlihat jelas, sampai dilakukan perbandingan.

Relativitas dalam Al Quran
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu tidak bersifat absolut seperti anggapan materialis, tetapi merupakan persepsi relatif. Sangat menarik bahwa fakta yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20 ini, telah disampaikan dalam Al Quran kepada manusia 14 abad yang lalu.

Waktu adalah persepsi psikologis yang dipengaruhi oleh peristiwa, tempat dan kondisi. Fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah ini dapat kita temukan pada banyak ayat Al Quran. Sebagai contoh, Al Quran menyatakan bahwa masa hidup seseorang sangat pendek:
Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Israa', 17: 52)
Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari; (di waktu itu) mereka akan saling berkenalan. (QS. Yunus, 10: 45)
Beberapa ayat menunjukkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda dan kadang-kadang manusia bisa menganggap suatu periode yang sangat pendek sebagai periode yang sangat panjang. Contoh yang tepat adalah dialog antara beberapa manusia yang terjadi di saat pengadilan mereka di hari kiamat:
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al Mu'minuun, 23: 112-114)
Dalam beberapa ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa di tempat yang berbeda, waktu dapat mengalir dengan cara berbeda pula:
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-sekali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj, 22: 47)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (QS. Al Ma'aarij, 70: 4)
Ayat-ayat ini mengungkapkan dengan jelas perihal relativitas waktu. Fakta yang telah disampaikan kepada manusia sekitar 1.400 tahun yang lalu ini baru dimengerti oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran diturunkan oleh Allah, Dia yang meliputi seluruh ruang dan waktu.

Banyak ayat Al Quran lainnya menunjukkan bahwa waktu adalah persepsi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam kisah-kisah Al Quran. Sebagai contoh, Allah telah membuat Ashhabul Kahfi (Penghuni-penghuni Gua) — sekelompok orang beriman yang disebutkan dalam Al Quran — tertidur lelap selama lebih dari tiga abad. Ketika terbangun, mereka mengira telah tertidur sebentar tetapi tidak dapat memastikan berapa lama:
Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al Kahfi, 18: 11-12)
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui…" (QS. Al Kahfi, 18: 19)
Keadaan yang diceritakan dalam ayat di bawah ini juga membuktikan bahwa sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berkata, "Berapa lamakah engkau tinggal di sini?" Dia berkata, "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya engkau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah makanan dan minumanmu yang tidak tampak berubah; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunya kembali, kemudian kami menutupinya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), diapun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah-lah yang menciptakan waktu, dan keberadaan-Nya tidak terbatasi oleh waktu. Di sisi lain, manusia dibatasi oleh waktu yang ditakdirkan Allah. Sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas, manusia bahkan tidak mampu mengetahui berapa lama ia tertidur. Dalam keadaan seperti ini, menyatakan bahwa waktu adalah absolut (sebagaimana dikatakan materialis) merupakan hal yang tidak masuk akal.

Takdir
Relativitas waktu memperjelas sebuah permasalahan yang sangat penting. Relativitas sangat bervariasi. Apa yang bagi kita tampak seperti bermiliar-miliar tahun, mungkin dalam dimensi lain hanya berlangsung satu detik. Bahkan, bentangan periode waktu yang sangat panjang dari awal hingga akhir dunia, dalam dimensi lain hanya berlangsung sekejap.

Ini adalah intisari dari konsep takdir — sebuah konsep yang belum dipahami dengan baik oleh kebanyakan manusia, khususnya materialis yang jelas-jelas mengingkari hal tersebut. Takdir adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan. Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir. "Kejadian yang belum terjadi" hanya belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang ataupun waktu, karena Dialah pencipta keduanya. Oleh sebab itu, masa lalu, masa mendatang, dan sekarang, seluruhnya sama bagi Allah; bagi-Nya segala sesuatu telah berjalan dan telah selesai.

Dalam The Universe and Dr. Einstein, Lincoln Barnett menjelaskan bagaimana Teori Relativitas Umum membawa kita kepada kesimpulan di atas. Menurut Barnett, alam semesta "dengan seluruh keagungannya hanya dapat dicakupi oleh sebuah intelektual kosmis." Kehendak yang disebut Barnett sebagai "intelektual kosmis" tak lain adalah ketetapan dan pengetahuan Allah yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Allah memahami waktu yang berlaku pada diri kita dari awal hingga akhir sebagai kejadian tunggal, sebagaimana kita dapat melihat awal, tengah dan akhir sebuah mistar beserta semua unitnya sebagai satu kesatuan. Manusia mengalami kejadian hanya bila saatnya tiba, dan mereka menjalani takdir yang telah Allah tetapkan atas mereka.

Perlu diperhatikan pula kedangkalan dan penyimpangan pemahaman masyarakat tentang takdir. Mereka berkeyakinan bahwa Allah telah menentukan "takdir" setiap manusia, tetapi takdir ini terkadang dapat diubah oleh manusia itu sendiri. Sebagai contoh, orang akan mengomentari seorang pasien yang kembali dari gerbang kematian dengan pernyataan seperti "ia telah mengalahkan takdirnya". Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dapat mengubah takdirnya. Orang yang kembali dari gerbang kematian tidak mati karena ia ditakdirkan tidak mati saat itu. Mereka yang mengatakan "saya telah mengalahkan takdir saya" berarti telah menipu diri sendiri. Takdir mereka pulalah sehingga mereka berkata demikian dan mempertahankan pemikiran seperti itu.

Takdir adalah pengetahuan abadi kepunyaan Allah, Dia yang memahami waktu sebagai kejadian tunggal dan Dia yang meliputi keseluruhan ruang dan waktu. Bagi Allah, segalanya telah ditentukan dan sudah selesai dalam sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan dalam Al Quran, kita juga dapat memahami bahwa waktu bersifat tunggal bagi Allah. Kejadian yang bagi kita terjadi di masa mendatang, digambarkan dalam Al Quran sebagai kejadian yang telah lama berlalu. Sebagai contoh, ayat-ayat yang menggambarkan manusia menyerahkan catatan amalnya kepada Allah di akhirat kelak, mengungkapkan kejadian tersebut sebagai peristiwa yang telah lama terjadi:
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangka-kala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dirugikan... Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahanam berombong-rombongan... (QS. Az Zumar, 39: 73)
Ayat lainnya mengenai masalah ini adalah:
Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. (QS. Qaaf, 50: 21)
Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. (QS. Al Haaqqah, 69: 16)
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. (QS. Al Insan, 76: 12-13)
Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. (QS. An Naazi'aat, 79: 36)
Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. (QS. Al Muthaffifiin, 83: 34)
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling daripadanya. (QS. Al Kahfi, 18: 53)
Terlihat bahwa peristiwa yang akan terjadi setelah kematian kita (dari sudut pandang manusia) dibicarakan dalam Al Quran sebagai peristiwa yang sudah selesai dan telah lama berlalu. Allah tidak terbatasi kerangka waktu relatif yang membatasi kita. Allah menghendaki semua ini dalam ketiadaan waktu; manusia sudah selesai melakukannya, seluruh peristiwa telah dilalui dan telah berakhir. Dalam ayat di bawah ini disebutkan bahwa setiap kejadian, kecil maupun besar, seluruhnya berada dalam pengetahuan Allah dan tercatat dalam sebuah kitab:
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam sebuah kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus, 10: 61)

Kekhawatiran Materialis
Topik tentang kebenaran yang mendasari materi, ketiadaan waktu dan ketiadaan ruang telah dengan sangat jelas dibahas dalam bab ini. Seperti dinyatakan sebelumnya, ini bukan sebuah filsafat atau cara berpikir, namun merupakan kebenaran nyata yang tidak mungkin diingkari. Selain merupakan kenyataan teknis, bukti-bukti rasional dan logis pun membawa kita kepada satu-satunya alternatif: alam semesta beserta seluruh zat yang membangunnya dan seluruh manusia yang hidup di dalamnya, merupakan sebuah ilusi. Semuanya merupakan kumpulan persepsi.

Materialis mengalami kesulitan memahami hal di atas. Sebagai contoh, mari kita tinjau kembali perumpamaan bis Politzer: meskipun secara teknis Politzer tahu bahwa ia tidak dapat keluar dari persepsinya, ia hanya mengakuinya untuk beberapa kasus tertentu. Bagi Politzer, peristiwa berlangsung di dalam otak hingga bis menabraknya. Namun segera setelah tabrakan terjadi, segalanya keluar dari otak dan menjadi realitas fisik. Pada tahap ini kecacatan logikanya sangat jelas: Politzer telah melakukan kesalahan yang sama seperti filsuf materialis Johnson yang mengatakan "Saya tendang batu, kaki saya sakit, karena itulah batu itu ada". Politzer tidak dapat memahami bahwa rasa sakit yang dirasakan setelah tabrakan bis semata-mata adalah persepsi juga.

Alasan dasar mengapa materialis tidak dapat memahami permasalahan ini adalah ketakutan mereka terhadap fakta harus hadapi setelah memahaminya. Lincoln Barnett menggambarkan bagaimana beberapa ilmuwan "melihat" permasalahan ini:
Bersamaan dengan pereduksian para filsuf atas seluruh realitas objektif menjadi dunia maya yang dibangun oleh persepsi, ilmuwan menyadari keterbatasan-batasan yang menakutkan dari indra manusia. 
Acuan apa pun yang menyatakan bahwa materi dan waktu hanya persepsi sangat menakutkan bagi seorang materialis, karena hanya itulah pegangannya sebagai makhluk absolut. Pada tingkat tertentu, ia mempertuhankan materi dan waktu; karena berkeyakinan bahwa ia telah diciptakan oleh materi dan waktu (melalui evolusi).

Ketika ia menyadari bahwa segala sesuatu — alam semesta tempatnya hidup, dunia, tubuhnya sendiri, orang-orang lain, filsuf materialis lain yang telah mempengaruhi pemikirannya, dan lain-lain — adalah persepsi, ia merasa sangat ketakutan. Segala sesuatu yang diandalkan, dipercayai, dan ditujunya, secara tiba-tiba menghilang. Ia merasakan putus asa; hal yang sesungguhnya akan dirasakannya pula pada hari perhitungan dalam arti sebenarnya, seperti yang digambarkan ayat "Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. An Nahl, 16: 87).

Sejak itulah materialis ini mencoba meyakinkan diri tentang kenyataan materi, dan membuat-buat "bukti" untuk tujuan ini. Ia memukulkan tangan ke dinding, menendang batu, berteriak, mencemooh, namun tidak pernah bisa lepas dari kenyataan.

Sebagaimana mereka ingin menyingkirkan kenyataan ini dari pikiran, mereka juga ingin orang lain melakukan hal serupa. Mereka sadar bahwa apabila khalayak umum mengetahui sifat sejati materi, keterbelakangan filsafat dan kebodohan pandangan dunia mereka akan terungkap sehingga tidak ada landasan lagi untuk merasionalisasikan pemikiran mereka. Ketakutan ini menyebabkan mereka sangat terganggu oleh fakta yang dibicarakan di sini.

Allah menyatakan bahwa ketakutan orang-orang yang tidak percaya tersebut akan semakin bertambah pada hari kiamat. Pada hari pengadilan, mereka akan mengalami hal sebagai berikut:
Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun; mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan (sekutu-sekutu Kami)?" (QS. Al An'aam, 6: 22)
Setelah itu, mereka akan menyaksikan segala kekayaan, anak-anak, dan lingkungan terdekat yang dianggap nyata dan dijadikan sekutu bagi Allah, meninggalkan mereka dan menghilang. Kenyataan ini Allah ungkapkan dalam ayat "Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dulu mereka ada-adakan.." (QS. Al An'aam, 6: 24).


Keuntungan Orang-Orang Beriman
Sementara materialis gelisah dengan fakta bahwa materi dan waktu hanya persepsi, hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang beriman. Mereka yang beriman menjadi senang ketika memahami rahasia di balik materi, karena kenyataan ini adalah kunci bagi segala pertanyaan. Dengan kunci ini, semua rahasia terbuka. Mereka akan dengan mudah memahami berbagai hal yang sebelumnya sukar dipahami.

Seperti telah dikatakan sebelumnya, pertanyaan tentang kematian, surga, neraka, hari kiamat, perubahan dimensi, dan pertanyaan penting seperti "Di manakah Allah?", "Apa yang ada sebelum Allah?", "Siapa yang menciptakan Allah?", "Berapa lamakah kehidupan dalam kubur?", dan "Di manakah surga dan neraka?" akan mudah terjawab. Orang-orang beriman akan mengerti bagaimana Allah menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan. Begitu pahamnya, sehingga dengan rahasia ini pertanyaan "kapan" dan "di mana" menjadi tidak berarti karena karena tidak ada lagi ruang dan waktu. Ketika ketiadaan ruang dipahami, akan dimengerti bahwa neraka, surga dan bumi sesungguhnya adalah tempat yang sama. Bila ketiadaan waktu dipahami, akan dimengerti bahwa segala sesuatu terjadi pada suatu momen tunggal: tidak ada yang perlu ditunggu dan waktu tidak berjalan, karena segalanya telah terjadi dan telah selesai.
Dengan terpahaminya rahasia ini, dunia bagaikan surga bagi orang-orang beriman. Segala kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan material akan hilang. Manusia beriman akan memahami bahwa seluruh alam semesta memiliki satu Penguasa, bahwa Dialah yang mengubah seluruh dunia fisik menurut kehendak-Nya, dan yang harus ia lakukan hanya kembali kepada-Nya. Manusia ini kemudian sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, "menjadi hamba yang saleh" (QS. Ali Imran, 3: 35).
Memahami rahasia ini adalah keberuntungan terbesar di dunia.

Dengan rahasia ini, akan terungkap kenyataan penting lainnya yang disebutkan di dalam Al Quran bahwa "Allah lebih dekat kepadanya dari-pada urat lehernya sendiri" (QS. Qaaf, 50: 16). Sebagaimana diketahui setiap manusia, urat leher berada di dalam tubuh. Apa yang dapat lebih dekat kepada seseorang selain yang ada di dalam tubuhnya sendiri? Keadaan ini dapat dijelaskan dengan realitas ketiadaan ruang. Ayat ini juga akan lebih mudah dimengerti setelah memahami rahasia tersebut.

Inilah kebenaran nyata. Manusia harus benar-benar yakin bahwa tidak ada penolong dan pemberi selain Allah. Tidak ada satu pun selain Allah; Dialah satu-satunya yang nyata, tempat manusia mencari perlindungan, memohon pertolongan dan mengharapkan balasan.

Ke mana pun kita menghadapkan wajah, di sanalah Allah hadir.
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2: 32) 

Dosa lahir dan dosa batin
Kita perlu menumpahkan lebih banyak perhatian terhadap jiwa, batin dan hati. Keliru besar orang yang menganggap bahwa kemaksiatan lahir atau dosa fisik (dzunub al jawarih) lebih berbahaya dari kemaksiatan batin atau dosa hati (dzunub al quluub). Salah besar orang yang mengatakan bahwa keterpelesetan kaki, lebih berbahaya dari keterpelesetan hati.

Saudaraku,
Ada banyak orang yang diuji melalui kemaksiatan lahir, tapi kemudian batinnya tersadar telah melakukan kemaksiatan lahir tersebut. Ada banyak orang yang khilaf melakukan dosa fisik, tapi setelah itu hatinya terhenyak lantaran telah, melakukan dosa fisik itu. Melalui kesadaran batin dan hati tersebut, ia berusaha melepaskan diri dari dosa dan kemaksiatan lahir. Lalu, keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya. 

Tapi, bagaimana bila kita adalah orang yang secara lahir tampak sebagai orang yang shalih. Bila kita secara fisik terlihat dan dikenal orang lain sebagai sosok orang yang tunduk dan taat kepada Allah swt. Sementara dalam hati dan batin kita, tersimpan tumpukan dosa dan kemaksiatan batin yang bisa membinasakan semua kebaikan lahir kita?

Ini bukan menyepelekan kemaksiatan fisik dan dosa lahir. Tapi seseorang memang harus mempunyai perhatian besar membersihkan hati dan batinnya, lebih dari yang lainnya. Seseorang harus mampu memegang kendali hati dan batin dirinya, sebelum ia menjadi penanggung jawab persoalan banyak orang.

Inilah pesan yang terkandung dalam wasiat terkenal Umar bin Khattab radhiallahu anhu, "tafaqqahuu qabla an tasuuduu" perdalamlah fiqih-mu sebelum kalian memimpin. Kata fiqih dalam ungkapan Umar bin Khattab bukanlah kata fiqih yang diartikan paham ilmu dan hukum agama seperti yang dipahami dalam istilah kita di zaman belakangan. Para salafushalih generasi pertama tidak memahami fiqih dari sisi ilmu pengetahuan yang memuat pada teori dan konsep hukum fiqih yang muncul belakangan. Orang yang faqih atau ahli dalam fiqih, dalam pandangan para salafushalih dahulu, utamanya adalah orang yang mampu memahami dan mempraktekkan keikhlasan, tawakkal, tawadhu’, dan berbagai unsur kendali hati lainnya. Bukan hanya orang yang memahami seluk beluk hukum suatu masalah.

Saudaraku,
Ibnu Mas’ud ra pernah menyinggung soal pentingnya aspek penguasaan batin ketimbang aspek penguasaan lahir. Suatu ketika dihadapan sejumlah sahabatnya, ia mengatakan, "Kalian pada zaman ini memiliki sedikit khatib (orang yang tampil berbicara di hadapan orang banyak) tapi mempunyai banyak ulama. Kelak akan datang suatu zaman, banyak

khatib tapi mereka memiliki sedikit ulama." Karena mengerti mendalam tentang masalah penguasaan batin seperti inilah, Zaid bin Arqam pun diriwayatkan pernah menolak untuk diangkat menjadi komandan perang pada saat perang Mu’tah. Zaid bin Arqam menolak melanjutkan estafeta kepemimpinan perang setelah tiga orang sahabat yang diamanahkan sebagai pemimpin perang gugur sebagai syahid. Ketika itu, Zaid justru meminta kaum Muslimin waktu itu untuk memilih orang lain menjadi komandan perang. Penolakan Zaid sudah tentu bukan penolakan seorang pejuang yang pengecut dan luruh nyalinya setelah melihat dahsyatnya peperangan ketika itu. Karena catatan sejarah perang Mu’tah menegaskan tak ada lagi sejumput rasa takut yang tersisa bagi pejuang Islam yang terlibat dalam peperangan Mu’tah, di mana satu orang pejuang Muslim harus berhadapan dengan 70 orang musuh. Zaid hanya mengetahui agungnya kepemimpinan itu dibanding keadaan dirinya. Itulah yang menjadikannya merendah, lalu meminta agar ada orang lain yang menerima tugas itu.

Saudaraku
Lihatlah juga, bagaimana sikap Khalid bin Walid ra yang dengan tenang meninggalkan posisinya sebagai komandan perang karena perintah khalifah Umar bin Khattab ra. Padahal Khalid telah membukukan kemenangan pasukannya di berbagai kesempatan. Tapi Khalid adalah orang yang faqih dalam urusan hati. Ia sangat mengerti posisi dirinya, dan bagaimana mengemban amanah yang diberikan kepadanya.

Mengertilah kita dengan ungkapan singkat dan indah yang disampaikan Ibnu Atha, "Pendamlah wujudmu di bumi ketidakterkenalan. Tak ada sesuatu yang tumbuh dari yang belum dipendam." Maksudnya, pohon yang tumbuh besar itu pasti bermula dari benih yang awalnya di tanam dan dipendam di bawah tanah. Maka, selama kita belum bisa mengubur dan memendam wujud keinginan kita, selama kita belum mampu mengikhlaskan secara total seluruh amal kepada Allah, selama kita belum bisa menyamakan keadaan diri antara diingat dan disebut orang dengan tidak diingat dan tidak disebut orang lain, mustahil kita bisa menumbuhkan pohon amal yang besar dan memberi buah yang berguna bagi orang lain.

Saudaraku,
Semoga Allah swt mengkaruniai kita rasa malu kita terhadap-Nya. Rasa malu karena Ia selalu mengetahui perbuatan hamba-Nya. Rasa malu karena Ia selalu mengawasi dan memperhatikan kita, baik kita dalam kesendirian atau berada di tengah-tengah orang banyak. Baik dilihat oleh orang atau tidak dilihat. Agar kita tetap lekat merasakan bahwa Allah selalu berada di samping kita, melihat dan mengawasi kita.

Apa yang dilakukan banyak salafushalih, merupakan isyarat kuat tentang masalah ini. Mereka, apabila ingat mati, kerap menangis. Jika mengingat kuburan, mereka juga kerap menangis. Dan bila mengingat hari kebangkitan, mereka juga menangis. Jika mengingat surga dan neraka, mereka gemetar ketakutan, dan jika mereka ingat bahwa amalnya kelak akan ditampakkan di hadapan orang banyak, tidak sedikit dari mereka yang pingsan. 

Saudaraku,
Mari tatap bersama jalan yang terhampar di hadapan. Ketika kita menatap ke depan, ketika itu pula kesempatan hidup kita pun terus berjalan dan memperpendek jarak hidup kita yang ada batasnya itu. Apa yang sudah kita lakukan saat ini saudaraku?

No comments:

Post a Comment

Copyright © Sebuah Perjalanan